Biografi B.J. Habibie (Artikel Lengkap)

Bacharuddin Jusuf Habibie adalah seorang insinyur Indonesia yang menjadi Presiden Indonesia dari tahun 1998 sampai 1999 menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri pada tahun 1998. Saat menjadi presiden, ia membebaskan pers dan partai politik di Indonesia. Ia juga sukses mengadakan pemilihan umum demokratis pertama pada tahun 1999, yang sekaligus mengakhiri jabatannya sebagai presiden. Jabatannya dipandang sebagai era transisi setelah jatuhnya rezim Soeharto. Beliau adalah presiden Indonesia ketiga dan dengan masa jabatan tersingkat sejak kemerdekaan Indonesia, yakni selama 1 tahun 5 bulan sebagai presiden.
Baca juga: Biografi Albert Einstein (Artikel Lengkap)
Biografi B.J. Habibie
1. Awal Kehidupan Habibie

Habibie lahir di Pare-Pare, Provinsi Sulawesi Selatan dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R. A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya adalah seorang pakar pertanian keturunan Gorontalo dan ibunya adalah seorang bangsawan dari Yogyakarta. Mereka bertemu ketika belajar di Bogor. Ayah Habibie meninggal saat ia baru berusia 14 tahun.

2. Studi dan Karir Habibie di Eropa

Habibie mulai belajar ilmu penerbangan dan antariksa di Universitas Delft (Belanda) namun karena alasan politik (sengketa Papua, yang melibatkan Belanda dan Indonesia), ia melanjutkan studi di Aachen, Jerman.

Pada tahun 1960, Habibie menerima gelar insinyur di Jerman dan menerima titel Diplom-Ingenieur. Dia tinggal di Jerman sebagai asisten peneliti dibawah Hans Ebner di Lehrstuhl und Institut für Leichtbau, untuk melakukan penelitian untuk gelar doktornya.

Pada 1962, Habibie kembali ke Indonesia selama tiga bulan saat cuti sakit. Dalam rentang waktu itu, ia berkenalan kembali dengan Hasri Ainun, anak dari R. Mohamad Besari. Ainun adalah seorang dokter. Habibie telah mengetahui Hasri Ainun sejak masa kanak-kanak, SMP, dan SMA di SMA Kristen Dago, Bandung. Mereka berdua menikah pada 12 Mei 1962 dan segera kembali ke Jerman setelah itu. Habibie dan istrinya tinggal di Aachen dalam jangka waktu singkat sebelum pindah ke Oberforstbach. Pada bulan Mei 1963 mereka memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Ilham Akbar Habibie.

Ketika Habibie hanya mendapatkan upah minimum, ia terpaksa mencari pekerjaan sampingan. Ia menemukan pekerjaan di perusahaan otomotif Talbot dan menjadi penasehat disana. Habibie bekerja pada dua proyek yang menerima pendanaan dari Deutsche Bundesbahn.

Selama bekerja dengan Makosh, kepala konstruksi kereta api menawarkan posisinya kepada Habibie karena ia akan pensiun tiga tahun kemudian, namun Habibie menolaknya.

Pada tahun 1965, Habibie menyelesaikan tesis dalam bidang teknik antariksa dan menerima penilaian "sangat bagus" pada disertasinya. Hal itu memberikannya gelar Doktor der Ingenieurwissenschaften. Di tahun yang sama, ia menerima penawaran Hans Ebner untuk melanjutkan penelitian tentang thermoelastisitas. Tesisnya tentang konstruksi ringan untuk benda supersonik atau hipersonik juga membuatnya ditawarkan untuk bekerja di perusahaan seperti Boeing dan Airbus, namun Habibie kembali menolaknya.

Habibie menerima posisi di Messerschmitt-Bölkow-Blohm di Hamburg. Disana, ia mengembangkan teori termodinamika, konstruksi, dan aerodinamika yang dikenal sebagai Faktor Habibie, Teorema Habibie, dan Metode Habibie. Dia bekerja untuk Messerschmit dalam pengembangan pesawat Airbus A-300B. Pada tahun 1974, ia dipromosikan menjadi wakil presiden perusahaan.

Karir Habibie di Eropa mungkin juga berkontribusi pada ketertarikannya pada kamera Leica.

3. Karir Habibie di Indonesia

Pada tahun 1974, Soeharto merekrut Habibie untuk kembali ke Indonesia sebagai bagian dari upaya Soeharto untuk mengindustrialisasi dan mengembangkan negara. Habibie dijadikan sebagai asisten spesial Ibnu Sutowo, direktur Pertamina. Dua tahun kemudian, Habibie menjadi direktur di perusahaan milik negara Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang baru didirikan (sekarang bernama PT. Dirgantara). Pada tahun 1978 ia ditunjuk sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Dia memerankan peran penting di IPTN. Pada tahun 1980-an, IPTN berkembang pesat dan menjadi spesialis perakitar helikopter dan pesawat penumpang kecil. Pada tahun 1991, Habibie mengawasi sepuluh industri milik negara termasuk perakitan kapal dan kereta api, logam, senjata, komunikasi, dan energi. Diperkirakan pemerintah menghabiskan $2 milyar dolar per tahun untuk industri-industri pemerintah. Meskipun praktek akuntansi pemerintah tidak membeberkan angka tersebut kepada publik.

Habibie menjadi pilot setelah diajarkan oleh A.B. Wolff, mantan staf Dutch Air Force. Pada tahun 1995, ia menerbangkan pesawat penumpang N-250 (Gatotkoco).

Dalam rangka mengembangkan industri penerbangan Indonesia, dia menggunakan pendekatan "Dimulai pada Akhir dan Diakhiri pada Awal". Dalam metode ini, unsur seperti penelitian dasar dilakukan terakhir sedangkan fokus utamanya adalah perakitan pesawatnya. Dibawah kepemimpinan Habibie, IPTN menjadi produsen pesawat termasuk helikopter Puma dan pesawat CASA. Pada tahun 1995, IPTN juga sukses memproduksi pesawat penumpang kecil yang diunggulkan, namun gagal dipasarkan karena krisis moneter.

4. Habibie Menjadi Anggota Golkar

Pada masa rezim Soeharto, seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, Habibie menjadi anggota organisasi Golkar. Dari tahun 1993 sampai 1999, ia menjadi koordinator harian.

5. Habibie Menjadi Wakil Presiden

Pada bulan Januari 1998, setelah menerima nominasi, Soeharto mengumumkan kriteria nominasi untuk wakil presiden. Soeharto tidak langsung menyebut nama Habibie, namun sugestinya yang menyatakan bahwa wakil presiden berikutnya haruslah memiliki keahlian di bidang sains dan teknologi. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa Habibie yang akan dipilih sebagai wakil presiden.

Pada waktu itu; pada pertengahan Krisis Finansial Asia, sugesti itu direspon negatif. Hal tersebut membuat nilai rupiah terjun. Meskipun demikian, Habibie tetap terpilih sebagai Wakil Presiden pada bulan Maret 1998.

6. Habibie Menjadi Presiden

6.1. Timor Timur

Habibie menolak Kemerdekaan Timor Timur namun ia mempertimbangkan untuk memberikan otonomi khusus untuk Timor Timur.

Pada akhir 1998, John Howard, Perdana Menteri Australia, mengirimkan surat kepada Habibie yang mensugesti bahwa Indonesia menyebarkan isu Timor Timur tentang diberikannya otonomi khusus dan diikuti dengan janji referendum. Metode itu meniru metode Perancis saat ingin memberikan kemerdekaan kepada Kaledonia Baru. Untuk menghindari kesan bahwa Indonesia memiliki Timor Timur sebagai sebuah daerah koloni, Habibie memberi pengumuman referendum untuk memilih apakah Timor Timur ingin otonomi khusus atau kemerdekaan. ABRI tidak berkonsultasi atas keputusan ini.

Pada tanggal 30 Agustus 1999, referendum digelar dan orang Timor Timur banyak yang berpartisipasi. Namun, ancaman pasukan Indonesia terhadap Timor Timur menimbulkan krisis Timor Timur 1999 dimana banyak orang terbunuh. Meskipun Habibie menyayangkan aksi cepat pasukan perdamaian PPB untuk menghentikan keributan. Pada tanggal 10 September, Jenderal Wiranto diduga mengancam akan melakukan kudeta militer jika Habibie membiarkan pasukan penjaga perdamaian. Habibie juga meminta personel keamanan untuk menghentikan keributan di teritori tersebut, namun permintaan tersebut diabaikan.

6.2. Perekonomian di Masa Pemerintahan Habibie

Pemerintahan Habibie berhasil menstabilkan perekonomian setelah krisis finansial Asia dan kerusuhan yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Untuk menyelesaikan krisis moneter di Indonesia, Habibie melakukan beberapa hal seperti berikut:

  1. Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah.
  2. Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri.
  3. Mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat.
  4. Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN dan unit Pengelola Aset Negara.
  5. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp 10.000.
  6. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF.
  7. Mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

6.3. Isu Sosial

Pemerintahan Habibie memulai membuat perdamaian dengan etnis Tionghoa, yang karena statusnya yang tinggi maka sempat dijadikan target kerusuhan 1998. Pada bulan September 1998, Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden yang melarang penggunaan istilah "pribumi" dan "non-pribumi" untuk WNI etnis asli Indonesia dan di luar Indonesia.

6.4. Reformasi Politik

Dibawah pemerintahan Habibie, Indonesia membuat perubahan sistem politik yang signifikan yang mengembangkan kompetisi politik dan kebebasan berbicara. Segera setelah duduk di jabatan presiden, pada bulan Juni 1998, pemerintahan Habibie menghapus pelarangan era Soeharto terhadap partai politik dan mengakhiri sensor dengan membubarkan Menteri Penerangan.  Hasilnya, terbentuk sekitar 48 partai politik baru. Beliau juga segera mengadakan pemilihan demokratis. Pada bulan Desember, dia mengajukan hukum reformasi politik yang lolos di tingkat legislatif dan sidang MPR. Hukum tersebut mengatur pemilihan umum digelar pada bulan Desember 1999. Pemilihan tersebut mengurangi jumlah militer yang duduk di parlemen, dan membawa aktivitas politik kepada masyarakat sipil. Namun, lawan politiknya mengkritisi Habibie karena menyetujui memberikan militer beberapa kursi di parlemen.

6.5. Akhir Jabatan Habibie

Meskipun beliau dilihat sebagai pengawal transisi pemerintahan, Habibie tampaknya bertekad untuk melanjutkan jabatannya sebagai presiden. Habibie menghadapi perlawanan dari banyak orang Golkar ketika mengumumkan pemilihan umum parlemen pada Juni 1998. Ia berjuang untuk mengendalikan partai dengan menunjuk Akbar Tanjung sebagai ketua partai, namun terdapat lawan pesaing yang cukup berat seperti mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Menteri Pertahanan Edi Sudrajat, Siswono Yudhohusodo, dan Sarwono Kusumaatmadja.

Namun, di waktu yang bersamaan, Habibie kehilangan dukungan dari Akbar Tandjung dan fraksi partai Golkar. Pada bulan Maret 1999, Golkar mengumumkan nominasi calon presiden: Habibie, Tandjung, Wiranto, Hamengkubawono X, dan Ginandjar Kartasasmita. Sebagian besar fraksi partai lebih loyal terhadap Tandjung dan beroposisi dengan Habibie.

Pada tahun 1999 Sidang Umum MPR digelar pada bulan Oktober. Pada sidang itu Habibie melakukan pidato pertanggungjawaban yang melaporkan pencapaiannya selama menjadi presiden. Setelah selesai, anggota MPR mulai memilih untuk menentukan apakah ingin menyetujui atau menolak pidatonya. Habibie berharap memenangkan dukungan militer dengan menawarkan jabatan wakil presiden kepada Jendral Wiranto, namun tawaran itu ditolak. Fraksi Golkar yang dipimpin Tandjung memilih menolaknya dan diikuti juga dengan partai lain. Hal itu membuat Habibie mengundurkan diri dari nominasi calon presiden.

Jabatannya digantikkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dipilih oleh MPR hasil pemilu 1999 pada tanggal 20 Oktober 1999.

7. Habibie Pasca-Presiden

Setelah melepaskan jabatan presiden, ia menghabiskan lebih banyak waktu di Jerman dibandingkan di Indonesia, meskipun dia aktif selama pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono baik sebagai penasihat presiden maupun melalui Habibie Centre untuk menjaga demokrasi di Indonesia. Habibie juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT. Regio Aviasi Industri, yang merancang pesawat R-80.

Pada bulan September 2006, ia menerbitkan buku berjudul Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Buku tersebut menceritakan peristiwa Mei 1998 yang telah membawanya ke jabatan Presiden. Di buku tersebut dia secara kontroversial menuduh Letnan Jendral Prabowo Subianto, anak angkat Soeharto (pada waktu itu) dan Komando Kostrad, telah merencanakan kudeta kepadanya pada bulan Mei 1998.

8. Keluarga Habibie

Habibie menikahi Hasri Ainun Besari, seorang dokter medis, dari 12 Mei 1962 sampai kematian Ainun pada 22 Mei 2010. Pasangan tersebut memiliki dua anak yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie. Saudara B.J. Habibie, Junus Effendi Habibie, menjadi perwakilan Indonesia terhadap Britania Raya dan Belanda. Setelah istrinya meninggal, Habibie menerbitkan buku yang berjudul Habibie & Ainun yang berisi hubungannya dengan Hasri Ainun sejak pacaran sampai Ainun meninggal. Buku tersebut diadaptasi ke dalam film berjudul sama yang dirilis pada tanggal 20 Desember 2012.

No comments:

Post a Comment